Ada semacam perjalanan bagi pembeli sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu baik dalam bentuk barang ataupun jasa. Ini kita sebut kemudian dengan buyer’s journey.
Pembeli memang unik. Dengan karakter yang beragam, cara menentukan keputusan juga akan menjadi berbeda. Ada orang yang akan memikirkan keputusannya berbulan – bulan sebelum membuat keputusan pembelian. Ada juga yang hanya memikirkannya dalam beberapa menit atau bahkan detik saja.
Sebagai pebisnis kita harus mengerti buying behaviour atau perilaku membeli yang melekat pada pelanggan agar kita dapat mengerti bagaimana cara pelanggan kita berpikir.
Sebelum memulai penjelasan tipe, kita harus memperhatikan dua faktor: involvement dan perbedaan antara brand.
Faktor yang mempengaruhi buying behaviour ada dua, yakni:
Involvement atau keterlibatan: ada kepentingan atau hubungan pribadi yang dimiliki terhadap produk yang ingin dibeli. Ini bisa berarti harga yang relatif dengan pendapatan, seberapa lama produk tersebut akan digunakan (komitmen), atau sejauh mana pembelian akan mempengaruhi citra diri.
Perbedaan antara brand
Perbedaan antara brand yang menjual produk di suatu industri yang sama juga akan mempengaruhi buying behaviour pelanggan kita.
Nah, kemudian kita mulai mengategorikannya menjadi 4 tipe:
1. Complex Buying Behaviour
Seorang pelanggan akan memiliki complex buying behaviour (atau perilaku membeli yang kompleks) bila involvement tinggi dan perbedaan antara brand sangat jelas. Produk – produk yang terlibat biasanya akan mahal, mewah, tidak sering dibeli, memiliki risiko, dan akan mempengaruhi citra diri. Karena sifat pembelian ini, pelanggan – pelanggan akan berpikir panjang dan mencari banyak informasi sebelum pembelian.
Sebagai marketer yang melayani pelanggan dengan complex buying behaviour, kita harus membuat strategi untuk membantu sang pembeli mengenal produk kita, untuk mengerti keunggulannya, dan mengapa brand kita layak dijadikan langganan. Kita juga harus bisa membedakan produk kita dengan produk para kompetitor dan menyampaikannya kepada para pelanggan.
2. Dissonance-reducing Buying Behaviour
Bila mengalami dissonance-reducing buying behaviour, produk yang terlibat memiliki involvement yang tinggi tetapi hanya ada sedikit (atau tidak ada) perbedaan antara brand. Contohnya adalah sofa; harga sofa tidaklah murah dan barang tersebut akan digunakan untuk waktu yang lama.
Sebagai marketer harus bisa memberikan bukti dan meyakinkan bahwa pembelian mereka adalah pembelian yang tepat. Contohnya, kita bisa beri testimoni pelanggan lain yang menyukai produk tersebut, atau menonjolkan keunggulan dan keunikan produk kita.
3. Variety-seeking Buying Behaviour
Pelanggan memiliki involvement yang rendah tetapi perbedaan antara brand ada. Karena itu, pelanggan akan sering melakukan brand switching yaitu mengganti brand yang mereka gunakan. Contohnya adalah makanan ringan atau pasta gigi. Karena tingkat involvement-nya tidak tinggi, maka mereka akan memilih brand dengan cepat dan menilainya saat dan setelah pemakaian. Pembelian berikut mungkin dilakukan dengan brand lain, bukan karena ketidakpuasan tetapi mungkin karena bosan atau ingin mencoba variasi yang baru.
Sebagai marketer, apa yang kita harus lakukan pertama adalah untuk mengetahui apakah brand kita adalah market leader (pemimpin pasar) atau brand lainnya.
4. Habitual Buying Behaviour
Pelanggan – pelanggan yang memiliki habitual buying behaviour tidak melihat bahwa ada perbedaan antara brand, dan involvement pembelian tersebut rendah. Contohnya adalah pembelian garam. Saat seseorang membeli garam mereka akan pergi ke pasar atau toko dan langsung membeli. Biasanya, habitual buying behaviour akan berhubungan dengan produk yang harganya murah dan sering dibeli.
Sebagai marketer, apa yang kita harus lakukan adalah membuat brand kita dikenal (tidak harus terkenal, dikenal saja cukup). Empat tipe buying behaviour ini akan tergantung kepada brand yang kita miliki. Buying behaviour mereka harus diperhatikan secara jelas karena ada perbedaan antara tipe – tipe produk. (RH)