“Kemajuan perempuan itu penting dalam peradaban bangsa.”
~ Raden Ajeng Kartini ~
Kiprah perempuan di dunia usaha bisa menjadi jalan bagi peningkatan perekonomian yang berkelanjutan, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, serta sebagai transformasi sosial dalam menekan angka kemiskinan.
Sekitar tahun 1826 hingga 1835, di tengah kompleksitas tanam paksa, sejumlah pabrik gula berdiri di Jawa. Hal itu menjadi salah satu penanda dimulainya industrialisasi di masa kolonial. Ratusan perempuan banyak yang direkrut untuk bekerja sebagai buruh. Meski jumlah buruh perempuan memang tidak sebanyak buruh laki-laki, namun kinerja para buruh perempuan patut untuk diapresiasi. Kendati begitu, para pekerja perempuan tetap saja mengalami berbagai diskriminasi seperti upah yang lebih rendah dari buruh laki-laki, dianggap masyarakat golongan dua, dianggap tidak bisa menjadi pekerja utama, dan sebagainya.
Diskriminasi berlapis terhadap pekerja perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada 1848, di New York, sejumlah tokoh perempuan yang aktif dalam gerakan anti diskriminasi mendeklarasikan kesetaraan hak bagi perempuan, termasuk hak untuk berperan aktif dalam sosial dan ekonomi. Konvensi hak-hak perempuan pertama di Amerika Serikat itu sedikit banyak memicu gerakan serupa di berbagai belahan dunia. Meski pola, ciri, sifat dan interpretasinya berbeda dengan di Amerika Serikat dan negara-negara lain, gerakan menuntut kesetaraan hak bagi perempuan juga terjadi di Indonesia. Gerakan-gerakan yang bersifat kedaerahan dalam menuntut kesetaraan hak sosial dan ekonomi banyak dilakukan oleh para perempuan bumiputera kala itu, sebut saja seperti Poetri Mardika – sebuah organisasi gerakan perempuan yang lahir di Jakarta atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, Pawijitan Wanita di Magelang tahun 1915, Aisiyah di Yogyakarta tahun 1917, Wanita Susilo di Pemalang tahun 1918, dan lain-lain. Walau belum seinklusif sekarang, tapi bisa dibilang gerakan pemberdayaan perempuan di masa-masa itu telah bergulir cukup dinamis. Untuk menyatukan seluruh inisiatif gerakan yang tumbuh di sejumlah daerah, maka pada 22 Desember 1928 dilaksanakanlah Kongres Perempuan Pertama yang digelar di Yogyakarta. Perhelatan tersebut menghasilkan sejumlah poin penting, di antaranya keterlibatan perempuan dalam pembangunan bangsa di segala bidang. Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan juga terus bertumbuh. Jika kita tarik ke belakang, gerakan emansipasi perempuan di Indonesia ditandai dengan lahirnya beberapa tokoh, seperti, Laksamana Keumalahayati (1550-1615), Martha Christina Tiahahu (1800-1818), Cut Nya’ Dien (1848-1908), Cut Meutia (1870-1910), Maria Walanda Maramis (1872-1924), Raden Ajeng Kartini (1879-1904), Dewi Sartika (1884-1947), Nyi Hajar Dewantara (1890-1971), Hajjah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), I Gusti Ayu Rapeg (1917-2004), dan masih banyak lagi. Mereka adalah peletak dasar perjuangan perempuan Indonesia yang kini telah merambah ke berbagai sektor, termasuk ekonomi dan bisnis. Jumlah perempuan yang terjun ke dunia usaha kian hari kian meningkat.
Harian Kompas edisi 12 Februari 1975 menerbitkan sebuah artikel tentang terbentuknya Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia (IPWI) pada tanggal 10 Februari 1975 yang dimotori oleh Kemala Motik dan Dewi Motik. Berdirinya IPWI sesungguhnya merupakan transformasi dari Gelanggang Dagang Wanita yang telah berdiri selama 47 tahun sebagai salah satu hasil dari Kongres Perempuan Pertama. Pada munas pertamanya tahun 1978, IPWI mengubah nama organisasi menjadi IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) hingga sekarang. Saat ini anggota IWAPI diperkirakan ada sekitar 40.000 dan tersebar hampir di seluruh provinsi, di mana 85% anggotanya adalah pengusaha kecil, 12% pengusaha menengah, dan 3% pengusaha besar.
Jejak kiprah para perempuan pengusaha Indonesia sesungguhnya tidak bisa lepas dari tonggak sejarah kewirausahaan perempuan yang telah ditancapkan oleh Raden Ajeng Kartini. Tak hanya dikenal sebagai pejuang emansipasi, Kartini juga menjadi figur penggerak bangkitnya kewirausahaan di tengah keterbatasan peran perempuan. Kewirausahaan yang menjadi pemikirannya ia tuangkan ke dalam prosa berjudul Van een Vergeten Uithoekje yang berarti “Dari Sudut Yang Terlupakan”. Dalam prosa itu Kartini menyinggung soal citra ukiran Jepara yang selalu terpinggirkan oleh moncernya wayang, batik dan perhiasan emas. Kartini membangun segala inisiatif untuk mengangkat potensi ukiran Jepara ke titik tertinggi. Kartini menjalin kerjasama dengan Oost En West – semacam perhimpunan dagang Belanda, menginovasi motif ukiran, dan mempromosikan ukiran Jepara hingga ke luar negeri, salah satunya melalui pameran di Den Haag, Belanda, pada tahun 1898. Seusai pameran, banyak orang-orang Eropa yang kemudian memesan ukiran Jepara. Untuk menjaga kualitas, Kartini tak segan untuk turun langsung melakukan supervisi pada para perajin ukir. Ia bahkan juga turut dalam proses perancangan furniture yang akan dipasarkan lintas benua. Bahkan ia juga berkesempatan mengirim satu set furniture sebagai hadiah ulang tahun ke-24 kepada Ratu Wilhelmina. Seluruh upaya Kartini berbuah. Permintaan akan produk ukiran Jepara terus meningkat pesat. Dampaknya, selain berhasil dijual dengan harga tinggi, kesejahteraan para seniman ukir di Jepara juga turut terdongkrak.
Sebagaimana yang diangan-angankan Kartini, kini tak sedikit perempuan yang berhasil membangun usahanya, dan itu cukup mengubah lanskap kewirausahaan nasional. Menurut statistik 1980-1981 yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (sekarang Badan Pusat Statistik), jumlah perempuan di Indonesia yang memperjuangkan peningkatan kesejahteraan keluarga melalui kewirausahaan terus meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000, Badan Pusat Statistik yang bekerjasama dengan United Nations Development Fund For Women juga memaparkan bahwa pada tahun 1999 dari 2,8 juta perusahaan di Indonesia, 60%-nya dimiliki oleh perempuan. Sementara, pada tahun 2003, IWAPI juga mencatatkan 60% dari 40 juta pengusaha kecil-menengah di Indonesia adalah perempuan.
Menilik laman Kementerian Keuangan tahun 2021 yang memuat data bersama dengan Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan bahwa di tahun itu populasi UKM yang terdaftar dalam Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) adalah sebesar 65 juta lebih, dan 53,76% pelakunya adalah perempuan dengan kontribusi bagi perekonomian nasional mencapai 61%.
Dalam The Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis World Economic Forum, geliat pelaku usaha perempuan Indonesia dianggap bisa menjadi roadmap bagi upaya peningkatan perekonomian yang berkelanjutan, pengarusutamaan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sekaligus sebagai transformasi sosial bagi upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Sejak krisis moneter tahun 1997 hingga 1998, pemberdayaan perempuan memang telah menjadi salah satu poin strategis penggerak pembangunan sosial-ekonomi, dan itu terbukti, perempuan mampu menyerap tenaga kerja lewat sektor-sektor usaha kecil dan menengah. Sementara, dalam laporannya pada tahun 2011 hingga 2016, Badan Ekonomi Kreatif selalu menyebut, perempuan secara konsisten telah menjadi pemeran penting dalam memajukan ekosistem kewirausahaan, dan sejauh ini perempuan telah mampu memberikan kontribusi besarnya dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Jadi, mari kita semua bersama-sama memberikan ruang yang lebih luas lagi kepada perempuan agar kiprah mereka bisa semakin menguat untuk masa depan Indonesia. Teruslah berdampak dan bermakna seluruh perempuan tangguh dalam lingkar kewirausahaan.
Merdeka!