Seperti diketahui, kapabilitas UMKM telah menjadi pendorong sektor perekonomian. Dengan jumlahnya yang terus tumbuh, UMKM mampu mempekerjakan 117 juta tenaga kerja atau 97% dari total tenaga kerja di sektor ekonomi.
Dampak serius Pandemi Covid-19 yang melanda kemudian membuat profit usaha UMKM menurun secara signifikan. Hal yang disebabkan peningkatan biaya usaha diantaranya bahan baku, transportasi, hingga tenaga kerja. Namun masalah terbesar pandemi dialami oleh UMKM yang mengandalkan toko fisik atau offline.
Untuk memacunya, Bank Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait, baik di kementerian maupun di daerah. Berbagai pihak sepakat UMKM harus naik kelas melalui digitalisasi, dengan proyeksi awal menjadikan UMKM potensial, kemudian bergerak ke UMKM digital.
Akselerasi guna mendorong peluru pertumbuhan UMKM telah dapat disimpulkan, yakni merelaksasi kebijakan makroprudensial. Langkah ini dapat menjadi juru selamat pertumbuhan ekonomi domestik melalui pencegahan dan penanganan krisis menggunakan sistem keuangan. Sehingga antara willingness (kemauan) dari Bank memberikan kredit dan kemampuan UMKM ketika menyerap pembiayaan, kenyataan tersebut dapat berjalan matching (sesuai).
Macroprudential memungkinkan perbankan yang tidak memiliki keahlian (expertise) di bidang UMKM, dapat menggandeng pihak lain dalam menyalurkan pembiayaan. Selain itu, makroprudensial juga memberikan lampu hijau kepada perbankan untuk membeli surat berharga dari bank lain yang memiliki kelebihan pembiayaan ke sektor UMKM.
“Intinya adalah bank itu memang selama ini ada yang tidak punya expertise di UMKM, sehingga penyaluran kepada UMKM sangat terbatas. Namun, dia bisa menggandeng mitra lain, menggandeng koperasi, pegadaian, BPR, bahkan menggandeng fintech untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM,” ujarnya Asisten Gubernur BI Juda Agung dalam acara BI Bersama Masyarakat: Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan BI 2021, Senin (7/12).
Munculnya Kebijaksanaan Makroprudensial
Kekacauan dan kepanikan akibat krisis keuangan Global pada tahun 2008 menyisakan duka dan memori tersendiri bagi semua institusi keuangan. Dalam hal ini, otoritas keuangan dunia melihat krisis terjadi di tengah kondisi makro ekonomi yang baik, serta kesehatan individual perbankan yang mencukupi.
Fenomena yang juga menunjukkan adanya perbedaan kebijakan. Dimana kebijakan makroprudensial tidak cukup mengatasi perilaku ambil risiko dari institusi keuangan. Sementara kebijakan moneter yang difokuskan pada stabilisasi harga tidak secara langsung menjangkau permasalahan di level mikro.
Oleh karena permasalahan tersebut, otoritas keuangan dunia semakin menyadari pentingnya penerapan kebijakan makroprudensial yang dapat melengkapi kebijakan lainnya dan mencegah terjadinya krisis sistem keuangan. Dalam mitigasi krisis keuangan, kebijakan makroprudensial berfokus pada mitigasi risiko sistemik.
Di Indonesia otoritas yang memegang mandat makroprudensial adalah Bank Indonesia. Jadi tugas BI itu fokus menjaga stabilitas sistem keuangan dari sisi makroprudensial. Sementara OJK (Otoritas Jasa Keuangan) mengawasi sistem keuangan dari sisi mikroprudensial.
Elemen-elemen dari sistem keuangan itu saling interkonektif, sehingga masalah yang muncul di sebuah institusi pada ruang lingkup sektor keuangan itu akan berdampak signifikan kepada sektor keuangan yang lain
Berdasarkan penjelasan mengenai makro dan mikroprudential diatas, kita dapat mengambil kesimpulan dalam bentuk gambaran sederhana, yakni:
‘Bank Indonesia mengawasi hutannya, sementara OJK mengawasi kesehatan pohon-pohon di dalam hutan tersebut.’