“Saat teknologi merevolusi kehidupan, tradisilah yang jadi bingkai kita”
~ Arthur Schlesinger – Sejarawan & Krtikus Sosial ~
Hari demi hari dunia makin mendigital. Semua orang bicara digitalisasi. Takut ketinggalan zaman, katanya. Lalu, digitalisasi buru-buru ditafsirkan sebagai penyempurna bisnis. Cara-cara lama yang dianggap usang serta-merta disingkirkan atas nama inovasi dan adaptasi. Haruskah kita menjadi tergesa-gesa merespon digitalisasi yang makin revolusif?
Dari sejak era jual beli masih menganut sistem barter hingga kini di fase transisi era industri 4.0 menuju industri 5.0, dasar prinsip pemasaran sesungguhnya tidak pernah berubah. Secara alami, aktivitas pemasaran lahir dari hasrat untuk menggaet leads sebanyak-banyaknya. Yang berubah dari aktivitas pemasaran sebenarnya hanyalah metode dan teknologinya. Keduanya memang akan selalu berubah seiring perkembangan kemampuan kognitif manusia dalam mengelola peradabannya. Perubahan peradaban kemudian melahirkan interpretasi apa itu konvensional dan apa itu modern. Sayangnya, banyak orang, termasuk para pelaku usaha yang terlanjur keliru memahami kedua sifat itu. Konvensional dan modern acapkali dianggap sebagai dua kutub yang berseberangan. Modern bertolak dengan konvensional, begitu juga sebaliknya. Padahal, konvensionalitas dan modernitas sama-sama punya nilai keunggulan sekaligus kelemahan yang saling melengkapi dan saling membingkai.
Dalam Journal of Education and Social Sciences, Kabuye Uthman, seorang peneliti humaniora menggambarkan hubungan antara modernitas dan konvensionalitas sama seperti halnya kita berkendara. Modernitas dianalogikan sebagai pandangan luas dan lurus yang menghasilkan orientasi tindakan dalam merespon hal-hal yang mungkin terjadi di depan. Sementara, untuk memastikan kita melaju dengan aman maka kita perlu memfungsikan pandangan konvensionalitas dengan melihat pada kaca spion untuk mengambil keputusan antisipatif terkait potensi merugikan yang muncul dari area blind spot. Dalam konteks aktivitas pemasaran, modern dan konvensional adalah dua fitur yang tak terpisahkan. Jika kita tarik keduanya secara bersamaan masuk ke dalam konteks strategi pemasaran, maka akan melahirkan marketing mix.
Sebagai prinsip pemasaran holistik, marketing mix yang terus dikembangkan sejak tahun 1960 menyoroti bahwa menjalankan pemasaran konvensional dengan pendekatan metode dan teknologi terkini akan memperkaya daya analisis pasar. Pemasaran berbasis digital memang memungkinkan pelaku usaha untuk dapat mengatur konsumennya secara spesifik berdasarkan perilaku, preferensi dan demografi. Namun, menarik pemasaran konvensional ke dalam proses bisnis akan membantu kita untuk mengenal target konsumen, tak hanya spesifik tapi juga lebih luas dan inkusif. Itulah mengapa, kegiatan seperti pameran masih menjadi daya tarik bagi para pelaku usaha untuk mengenalkan produknya dalam upaya meningkatkan penjualan. Dalam beberapa hal, pemasaran konvensional dapat menciptakan kepercayaan, kredibilitas dan loyalitas pelanggan yang lebih besar terhadap produk yang kita tawarkan melalui pelayanan dan interaksi interpersonal yang baik. Ingat, akar sifat konsumen adalah “seeing is believing, touching is knowing, and tasting is loving”, dan itu tidak akan hilang sampai kapanpun. Dalam studi riset yang dilakukan The Iconomics, pemasaran konvensional hingga hari ini masih mencatatkan keberhasilan penjualan 70% hingga 80% lewat sistem trial and first buy serta funneling. Ini merupakan staretgi pemasaran konvensional dengan memberikan kesempatan kepada calon konsumen untuk mencoba terlebih dahulu produk yang ditawarkan sebelum mereka membelinya. Pendekatan ini juga akan membantu kita mengetahui lebih dalam needs and wants dari calon konsumen.
Meskipun pemasaran berbasis digital telah mendominasi kehidupan dunia usaha dalam beberapa tahun terakhir, metode pemasaran konvensional masih memiliki peran besar dalam kerangka bisnis yang holistik. Memperkuat keterpaduan elemen dan nilai-nilai yang ada pada konvensionalitas dan modernitas bisa menjadi jawaban atas upaya kita beradaptasi pada transformasi digital secara lebih bijak.
Jangan Salah Mengartikan Perubahan
Pelaku usaha perlu perkuat fleksibilitas dan kapabilitas untuk berharmoni dengan zaman yang berkembang luar biasa. Pelaku usaha yang tidak benar-benar siap dengan kematangan tujuan, ketercukupan literasi dan pengetahuan yang mumpuni tiba-tiba seperti terseret masuk ke dalam lintasan marathon berkabut tebal. Tak ayal, mereka akan mengalami panic attack karena melemahnya visi. Jarak pandang yang pendek membuat mereka jadi hanya bisa menerka-nerka bentuk tantangan seperti apa yang ada di depan sana. Ketidakpastian pun segara menyelimuti. Namun, alih-alih menepi untuk sejenak membaca situasi dan kondisi, mereka justru semakin jauh berlari. Dorongan rasa takut ketinggalan momen atau FOMO (Fear of Missing Out) lebih kuat ketimbang rasa khawatir akan kehilangan arah tujuan yang berpotensi membawa mereka ke dalam pusaran perubahan yang membingungkan. Ruang dan waktu yang sempit karena dihimpit oleh persaingan yang ketat tak menyisakan kesempatan bagi mereka untuk sejenak mengulik potensi dan strategi. Alhasil, mereka jadi tergagap untuk sekadar memahami “what works and what doesn’t work”. Prinsip “bagaimana nanti” pun menjadi pedoman. Di sinilah titik krusialnya. Banyak pelaku usaha akhirnya mati langkah dalam lintasan kompetisi.
Digitalisasi bekerja untuk menghasilkan sebuah transformasi besar. Kita memang tidak perlu melepaskan diri dari segala bentuk perubahannya. Kita harus menjadi bagian dari dinamikanya. Ambil langkah moderat dan tenang. Bersikap JOMO (Joy of Missing Out) jauh lebih baik daripada memaksakan diri masuk ke dalam kondisi yang belum sepenuhnya kita kuasai. Seraya tetap fokus pada apa yang ingin kita raih, pahami dan pelajari segala hal yang berpotensi merugikan yang bisa saja muncul dari setiap area blind spot digitalisasi. Adaptif sangat diperlukan, tapi jangan keliru mengartikan perubahan. Ini adalah era yang mengutamakan kemampuan berpikir kritis, komunikatif, inovatif dan kreatif. Kenali lebih dalam lingkaran jejaring kita dan kedepankankan kolaborasi. Kuatkan keterpaduan elemen konvensionalitas dan modernitas. Karena saat teknologi merevolusi kehidupan, kita perlu menengok kembali pada nilai-nilai dasar yang selama ini telah menumbuhkan dan menjaga kita sebagai entrepreneur.
Merdeka!
***