Generasi Milenial dan Merek
Generasi Milenial. Ya, mereka kini telah merasuki kehidupan kita. Karena memang mereka adalah teman-teman kita, saudara kita, anak-anak atau cucu kita, bahkan kita adalah mereka. Bila angkatan pertama Gen M adalah mereka yang lahir pada tahun 1980, seperti yang ditahbiskan oleh para ilmuwan sebelumnya, maka pada tahun 2018 ini mereka sudah berusia 38 tahun. Usia produktif. Inilah alasannya kenapa tulisan ini muncul.
Di usia produktif, seseorang melakoni dan menjalankan seluruh aspeknya sebagai manusia. Ia bekerja, berkeluarga, mencipta, menyadari keadaan dirinya, memahami kebutuhan dirinya, memegang kendali. Pendeknya di tangan merekalah dunia kini berada. Artinya, bila kita ingin merek yang kita miliki terus eksis, lakukan hubungan “hati ke hati” dengan mereka.
Mari kita bedah hatinya para milenial ini. Larry Alton di laman smallbiztrends.com menjabarkan keinginan-keinginan para warga milenial sebagai berikut :
- Kemudahan (Convenience)
Generasi milenial tumbuh pada era dimana kehidupan kita telah mulai dimanjakan oleh berbagai kemudahan. Yang menjadi aktor utamanya sudah jelas adalah internet. Segala macam hal bisa didapatkan dari internet. Dari sekedar informasi / berita, hiburan, makanan, rumah hingga (bahkan) jodoh. Semuanya tersedia dan dengan mudah diperoleh dengan cepat, efisien dan saat itu juga (real time).
Tidak heran bila bisnis pesan antar begitu mudah dan cepat tumbuh. Hampir semua jenis barang bisa dipesan dan segera diantar. Terutama makanan, pakaian dan barang kebutuhan sehari-hari. Jadi bila sebuah warung makan tidak memiliki pasukan pengantar pesanan atau tidak bergabung dengan aplikasi jasa pesan antar, yaa.. rugi besar lah.
- Pilihan (Choices)
Dahulu martabak hanya ada dua rasa, martabak manis dan martabak telur. Kini martabak manis memiliki puluhan jenis rasa, dari rasa susu kental manis saja hingga kumpulan rasa (assorted) bagaikan pelangi dalam satu loyang. Yang telur, ada pilihan telur bebek atau ayam, dengan tingkatan dua sampai lima telur dalam satu adonan.
Dahulu hiburan hanya ada TVRI dan RRI. Kini lebih dari dua puluh stasiun TV swasta dan puluhan radio swasta di suatu kota berusaha sekuat tenaga untuk disimak. Itu yang gratisan. Masih ada saingannya dari TV kabel dan jaringan hiburan online seperti Netflix, YouTube, dan lainnya.
Berbelanja pun begitu. Dalam satu lapak online, begitu banyak pilihan baju dari begitu banyak merek dengan berbagai rancangan dan corak. Atau bisa pindah dari satu lapak ke lapak lainnya, saat mencari sebuah jenis motor dari satu merek tertentu, hanya untuk membandingkan harga-harganya. Kalau sudah ada yang cocok dan mau membayar? Pilihan cara, mekanisme dan lewat bank mana pun sudah ada di layar. Tinggal diklik.
Keragaman pilihan untuk berbagai hal ini yang membuat para millenial memiliki kendali. Sisi positifnya,hal Ini menjadi tantangan agar kita bisa lebih kreatif dan terus berinovasi.
- Pengalaman (Experience)
Badai K-pop datang melanda. Dunia ikut bersenandung dan bergoyang. Juga di Indonesia. Awalnya seorang K-poper ikut temannya mendengar sebuah lagu Super Junior (SuJu). Lalu menyukainya dan mengidolakan grup tersebut. Apalagi kalau mendengarkannya ramai-ramai di sebuah restoran Korea. Mengunyah bulgogi, bibimbab dan kimchi sambil goyang-goyang kepala. Lebih lengkap lagi kalau sudah bisa berbahasa Korea. Puncaknya, yaaa.., bolak-balik Jakarta – Seoul, minimal setahun sekali!
Jadi, nonton konser SuJu, makan bibimbab bareng-bareng sambil ngobrol berbahasa Korea dan bolak-balik ke negeri ginseng sana, itulah pengalaman. Sama juga dengan main jetski di pantai Lovina. Juga belajar membatik di Pekalongan dan juga kelelahan setelah naik turun tangga di Santorini. Bagi sebagian lainnya, menyentuh Tembok Ratapan atau mencium Hajjar Azwad adalah yang utama.
Tercatat dalam forbes.com, awal tahun ini ada lebih dari 7.600 pelancong berumur 18 sampai 30 tahun melakukan perjalanan dari seluruh negara. Diestimasikan pada tahun 2020 nanti akan terjadi 320 juta perjalanan di seluruh dunia oleh pelancong muda ini. Merek yang memuaskan hati mereka, pasti akan mereka cari tahun berikutnya, atau akan mereka rekomendasikan kepada keluarga dan teman mereka. Jadi, mari bersiap-siaplah.
Untuk merek-merek yang produknya berupa barang, tidak sulit juga untuk menciptakan pengalaman bagi para pelanggan. Mengadakan aktifitas sosial, menjadi inisiator gelaran amal, menjadi sponsor olah raga, dan lain-lain.Lakukan berkala dengan mengusung idealisme / tema yang kuat. Contohnya: olah raga ekstrim identik dengan Red Bull.
- Sesuai Kemampuan Keuangan (Budget Friendly)
Alasannya berbeda-beda di tiap negara. Mari kita bandingkan antara di Amerika Serikat dengan di Indonesia. Di Amerika Serikat sebagian besar generasi milenial yang mulai berkarir masih memiliki hutang dari student loan. Student loan adalah tunjangan pelajar bagi pelajar Amerika yang ingin meneruskan pendidikan dari mulai college sampai yang lebih tinggi lagi. Menurut Wikipedia, dari 20 juta pelajar yang masuk college tiap tahunnya, sekitar 60% dari mereka mengambil tunjangan pelajar. Dan, tunjangan ini harus mereka lunasi. Karena itu, wajar saja jika setelah mulai bekerja, mereka membatasi pengeluaran mereka dengan ketat.
Di Indonesia tidak dikenal student loan. Kalau pun ada itu pasti hanya satu dua kasus saja dan bersifat pribadi. Pelajar dan mahasiswa ditanggung oleh orang tua. Masalahnya bagi milenial di Indonesia adalah kesempatan kerja dan biaya hidup yang semakin meningkat. Mereka yang baru lulus kesulitan mendapatkan kerja. Mereka yang baru masuk dunia kerja biasanya memperoleh gaji yang disekitaran upah minimum regional, yang selalu kejar-kejaran dengan harga-harga sembako. Ini yang membuat mereka begitu irit dalam hal keuangan.
Memprihatinkan? Coba lihat ini. Lahirnya generasi irit ini memunculkan bisnis-bisnis irit pula. Kini, bepergian atau pun berwisata juga bisa irit. Penerbangan yang murah ada, hotel dan penginapan murah sudah banyak, restoran atau pun kafe yang terjangkau juga menjamur. Dari generasi irit ini pula mie instan dan kopi sachet naik kelas dan harga tersaji akhirnya jadi lebih tinggi. Ojek pun jadi lebih keren karena pakai seragam dan jadi lebih high-tech.
- Rasa Memiliki (Belonging)
Generasi milenial memiliki rasa “Memiliki” yang tinggi. Artinya adalah generasi milenial itu melihat suatu merek tidak hanya dari fungsi, kegunaan dan hasil akhir dari produk atau jasanya saja, tetapi juga melihat nilai lebih dari merek tersebut. Mereka sangat peduli bagaimana proses produksi sebuah produk. Bagaimana bahan mentahnya didapatkan, proses pembuatannya, hingga cara antarnya. Dan, akhirnya,nilai tambah apa yang ditawarkan.
Amerika Serikat dan Eropa sangat sensitif terhadap isu-isu pekerja anak, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Produsen sepatu dan apparel Nike sempat merasakan kuatnya tentangan publik karena masalah pekerja anak. Produsen produk-produk yang mengambil bahan mentah dari perkebunan di Asia dan Amerika Selatan sampai sekarang masih diprotes karena isu lingkungan hidup dan pemanasan global. Sebaliknya produk-produk yang menggunakan bahan daur ulang dan energi terbarukan begitu disenangi. Di Indonesia, tradisi kekeluargaan, kultur sosial gotong royong dan taraf hidup masyarakat yang belum merata, memaksa merek-merek untuk lebih peduli. Karena itu banyak produsen besar sering melakukan CSR. Karena kepedulian atas lingkungan, Klinik Bank Sampah sudah ada di seluruh Indonesia. Karena menerima pegawai tanpa melihat kondisi fisiknya, Batik Kultur menjadi favorit para pecinta busana. Merek yang dibangun dengan ketulusan hati akan cepat merambah dunia nyata dan maya dengan sendirinya.
- Diakui (Recognition)
Para milenial suka pamer. Ini jelas terlihat dengan begitu “laris”-nya media sosial saat ini. Hampir semua milenial punya akun media sosial. Med-sos jadi tempat paling mudah, murah dan cepat bagi siapa saja untuk unjuk diri. Baik itu unjuk kata-kata, unjuk foto juga video. Dari yang sangat halus seperti ungkapan kepedulian sampai yang terang-terangan pamer kekayaan.
Taylor dalam bukunya “The Politics of Recognition” menyatakan bahwa : ingin diakui adalah kebutuhan vital manusia. Karena itu wajar saja bila seorang milenial, yang selalu on di med-sos,bisa “baper banget” bila postingannya tidak dikomentari oleh warga net lainnya.
Kebutuhan untuk diakui ini bisa menjadi lahan subur bagi merek untuk juga tampil memenuhi med-sos. Banyak yang bisa dilakukan. Misalnya: memberi hadiah kejutanyang benar-benar berarti bagi seorang netter bila ia menampilkan merek kita dalam postingannya. Netter yang gembira pasti menjadikan merek kita sebagai pilihan hatinya. Dengan begitu, Ia akan menjadi pemasar terbaik bagi merek kita.
Yuk, masukkan merek kita ke dalam hati para milenial dan bikin mereka bilang “Ini merek gua banget!”