“Diriku telah ditiru. Bahkan kesalahanku pun ditiru.”
~ Jimi Hendrix ~
ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) sudah menjadi hal yang lumrah. ATM kerap tergiring masuk ke dalam wilayah abu-abu. Kadang batasannya hanya setipis tisu dengan plagiarisme dan copycating. Bisakah kita terbebas dari yang namanya ATM?
Selama kita berada di bawah langit yang sama, maka apa yang dibuat manusia sudah tidak ada yang benar-benar orisinal, kata Mark Twain. Dalam sebuah jurnal Social Learning, psikolog sosial Albert Bandura menyampaikan bahwa, sebagian besar proses pembelajaran manusia didasari oleh observasi, peniruan, dan pemodelan. Teori ini membenarkan bahwa secara kodrati manusia memang mempunyai fitur alami untuk menjadi peniru ulung. Bayangkan, dengan kesadaran penuh fungsi otaknya, manusia bisa menghasilkan kemiripan dari apa yang ingin ditirunya baik secara fungsi, wujud maupun kualitas sebesar 40% hingga 99%. Tentu untuk bisa menghasilkan level high similarity accuracy perlu dukungan pengetahuan dan kemampuan teknis yang memadai.
Tiongkok merupakan salah satu negara yang mengimplementasikan prinsip ATM secara blakblakan. Ada institutional theory yang berkembang di sana. Dalam teori itu dikatakan, selama untuk alasan penguatan ekonomi, politik dan sosial, maka “inovasi berbasis meniru” adalah cara yang baik untuk dipertimbangkan, asal product result dari barang tiruan itu memiliki tingkat kandungan komponen dalam negeri yang maksimal. Kekayaan SDM, SDA dan kemampuan dalam reverse engineering serta labor cost yang relatif murah sangat memungkinkan bagi Tiongkok untuk membuat produk tiruan dengan akurasi kemiripan yang tinggi dan berbiaya murah. Namun, tentu saja kemampuan Tiongkok itu berujung pada kegelisahan negara-negara produsen. Pada 2015, Amerika Serikat yang didukung oleh Economist Intelligence Unit mengajak Tiongkok membuat kesepakatan bersama untuk tidak saling mencuri aset properti intelektual dan rahasia dagang bagi tujuan apapun. Pakta tersebut jelas didasari oleh rasa gerah Amerika Serikat terhadap Tiongkok yang dinilai teramat ekspansif menabrak batasan ATM secara vulgar. Sementara, Tiongkok menilai Amerika Serikat sebagai negara bermental perang dingin yang suka pura-pura lupa bahwa dunia sekarang sudah berada pada era perdagangan bebas. Siapapun dan dengan cara apapun boleh menghasilkan produk yang bagus dan menjadi market darling. Oke, kita tinggalkan polemik tak berkesudahan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Tapi artinya, urusan ATM memang bukanlah perkara sepele.
Di Indonesia, istilah ATM muncul pada era Orde Baru yang waktu itu sedang getol-getolnya membangun era tinggal landas. Atas nama mengejar ketertinggalan, metode-metode pendidikan yang lebih dahulu berkembang di negara maju ditiru untuk kemudian diaplikasikan pada pendidikan nasional. Sayangnya, sistem pendidikan nasional kita yang kerap gonta-ganti kurikulum justru membuat proses adjsutment metode-metode pendidikan hasil dari ATM itu menjadi canggung dan tanggung.
Dalam perkembangan hari demi hari, praktik ATM di Indonesia tidak hanya terjadi pada dunia pendidikan, tapi juga telah merambah pada kegiatan sektor-sektor yang memiliki nilai keekonomian, seperti industri kreatif dan UMKM. ATM menjadi semakin lumrah sebagai kiat dalam mencipta produk. Hingga hari ini, masih banyak berseliweran di media hingga jurnal-jurnal ekonomi terkait soal bagaimana ATM bisa menjadi jurus ampuh bagi pelaku usaha yang ingin membangun bisnisnya. Sejujurnya, memang sangat memprihatinkan jika ATM kemudian dimaknai secara sembrono oleh sebagian pelaku usaha.
Dalam Applied Theory, Lawrence Meir Friedman mengemukakan bahwa proses pengamatan bisa melahirkan tiga model peniruan, yang pertama adalah copying yang berarti meniru sebuah produk secara persis. Kedua, adapting, meniru sebagian dari sebuah produk, dan ketiga adalah inspired, yaitu meniru esensi sebuah produk untuk diterjemahkan ke dalam bentuk kebaruan. Model peniruan yang dipilih oleh pelaku usaha kelak akan mewujud pada karakter produknya, dan yang pasti akan berpengaruh juga pada lelaku bisnisnya.
Secara norma, ATM hanya berperan sebagai strategi yang akan membantu proses mengelaborasi gagasan, pengembangan, penyempurnaan dan pemantapan mata rantai kegiatan usaha. Baik, coba kita cermati satu persatu terminologi ATM. Amati, bisa dibilang sebagai bentuk identifikasi terhadap produk, inisiatif, terobosan, model bisnis, pemasaran hingga kondisi kompetitor. Lakukan riset SWOT untuk menghasilkan analisis komparasi apple to apple antara kita dan kompetitor. Tiru, ingat di sini ada aspek yuridis yang kuat. Jangan asal meniru kalau tidak ingin dapat stempel sebagai penjiplak, plagiator dan pemalsu. Jika harus meniru, maka ambil model peniruan dengan bijak, seperti prinsip inspired yang ada pada Applied Theory misalnya. Modifikasi, ini adalah titik kebijakan dalam menerapkan ATM. Karena bagaimanapun sebaik-baiknya proses penciptaan produk adalah yang dapat memenuhi kaidah inovasi guna melahirkan orisinalitas dan diferensiasi agar terjauh dari kesan meniru. Modifikasi yang baik akan memberikan kesan baru dan sentuhan segar di mata konsumen. Modifikasi tentu tidak hanya sekadar memperbarui desain dan tampilan produk, makna modifikasi bisa ditarik lebih jauh sebagai bentuk inovasi dalam manajemen, proses produksi, komunikasi, promosi, hingga strategi pemasaran.
Jadi, pertanyaannya, masihkan kita membutuhkan ATM? Jika ATM memang masih menjadi salah satu langkah bagi upaya membangun usaha dan jalan bagi keberlangsungan bisnis, maka lakukan. Namun, dengan catatan, perkuat etika, perkaya literasi, cermati batasannya, indahkan aspek hukumnya, dan yang tak kalah penting adalah benahi motif serta luruskan niatnya.
Merdeka !