PERNAHKAH Anda membayangkan sebuah startup baru saja berdiri tapi sudah jor-joran menggelar berbagai iming-iming? Cashback misalnya, atau diskon yang tinggi? Ini adalah strategi baru yang tidak mungkin dilakukan di masa lampau, zaman sebelum bisnis berbasis teknologi digital meruak. Pebisnis di awal masanya ragu jika harus keluar banyak modal karena belum tentu ada kepastian investasi.
Ya, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro bahkan mengatakan bakar uang merupakan bisnis model baru dalam ekonomi digital. Investor bersedia suntik dana ke startup karena fokusnya pada masa depan. Masa kini, modal yang mereka gelontorkan direncanakan untuk bisa tetap berpijak di masa depan. Keuntungan yang berlipat dari apa yang mereka berikan.
Dia bahkan mengakui startup sukses yang utamanya digital berbasis platform ada tambang emas yang bisa dieksplorasi nanti atau tambang emas yang tidak terlalu kelihatan, tapi sebenarnya itu yang jadi tulang punggung yakni data.
Data dahulu hanya dianggap statistik, tidak ada nilainya. Tetapi di masa kini dan masa depan, beberapa orang berpendapat, Data is The New Oil. The Economist menerbitkan sebuah cerita berjudul, “Sumber daya paling berharga di dunia bukan lagi minyak, tetapi data.” Sejak dipublikasikan, topik ini telah menghasilkan banyak diskusi, dan “Data adalah minyak baru” telah menjadi hal yang umum.
Bayangkan dia berkembang menjadi data. Sebuah startup punya big data yang bahkan bisa dijual, tanpa ada produknya. Hanya data, data pelanggan misalnya. “Sekarang bila bicara data science maka itu adalah big data dan berasal dari kegiatan digital,” kata Bambang Brodjonegoro.
Apa yang dilihat dari sisi investor? Big data yang bisa dikuasai akan mampu memetakan dan melihat prospek keuntungan di masa depan. Ini bisa menjadi mesin mengeruk keuntungan yang berlipat dibandingkan dengan bakar uang terdahulu. Big data adalah investasi masa depan. Dan menurutnya, startup adalah platform yang ujungnya menghasilkan data. (RH)